Hukum jual beli emas secara angsuran – Para Ulama Berbeda pendapat mengenai hukum jual beli emas secara angsuran, berikut perbedaannya !
- Menurut mayoritas Fuqaha (Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali) bahwa jual beli emas secara angsuran atau tidak tunai itu tidak boleh, dikarenakan emas dan perak adalah tsaman (Harga, Alat pembayaran, Uang) yang tidak boleh dipertukarkan secara angsuran maupun tangguh karena hal itu menyebabkan riba.
- Menurut Ibnu Tamiyah, Ibnu Qayyim, dan beberapa Ulama kontemporer, jual beli emas secara angsuran itu hukumnya boleh, dikarenakan emas dan perak adalah barang (sil’ah) yang diperjualbelikan seperti hal nya komoditas biasa dan bukan lagi difungsikan sebagai tsaman. Emas dan perak setelah dibentuk menjadi perhiasan itu telah berubah menjadi komditas seperti pakaian dan barang, bukan merupakan tsaman. Oleh karena itu tidak terjadi riba dalam pertukaran atau jual beli antara perhiasan dengan harga (uang).
Berdasarkan penjelasan dari perbedaan pendapat Ulama diatas, maka pendapat yang rajih adalah boleh jual beli emas dengan angsuran karena emas adalah barang bukan harga (uang) untuk memudahkan urusan masyarakat dan menghilangkan kesulitan mereka.
Fatwa DSN (Dewan syariah Nasional) juga memilih pendapat yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai.
Jual beli emas secara tidak tunai baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah itu hukumnya boleh (mubah/jaiz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang) dengan ketentuan sebagai berikut :
- Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
- Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn)
- Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan objek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
Hadis Hadis Nabi yang Mengatur pertukaran (jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, serta emas dengan perak atau sebaliknya, mensyaratkan beberapa hal antara lain, pertukaran itu dilakukan secara tunai dan jika dilakukan secara tidak tunai, maka ulama sepakat bahwa pertukaran tersebut dinyatakan sebagai transaksi riba.
Saat ini, masyarakat dunia tidak lagi memperlakukan emas atau perak sebagai uang tapi memperlakukannya sebagai barang (sil’ah).
Demikian juga, Ibnu Tamiyah dan Ibnu Al-Qayyim menegaskan bahwa jika emas atau perak tidak lagi difungskan sebagai uang, misalnya telah dijadikan perhiasan, maka emas atau perak tersebut berstatus sama dengan barang (sil’ah).
Berdasarkan hal hal tersebut dan dengan memperhatikan qaidah ushul al-fiqh dan qaidah fiqh sebagaimana dikemukakan, maka saat ini syarat-syarat atau ketentuan hukum dalam pertukaran emas dan perak yang ditetapkan oleh hadis Nabi tidak berlaku lagi dalam pertukaran emas dengan uang yang berlaku saat ini.
Ditulis oleh : Hana lidini Hanifah (Mahasiswi STEI SEBI)