Bank Syariah: Oase di Tengah Gurun Krisis Moneter 1998

2 min read

Pada periode 1997-1998, Indonesia dihantam oleh badai krisis moneter (krismon) yang meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian. Nilai tukar Rupiah terjun bebas, inflasi meroket, dan dunia perbankan nasional berada di ambang kehancuran. Puluhan bank terpaksa dilikuidasi atau diambil alih oleh pemerintah karena tidak mampu bertahan. Namun, di tengah gurun kekacauan finansial tersebut, sebuah sistem perbankan yang saat itu masih sangat muda dan minoritas justru menunjukkan ketahanan luar biasa: Bank Syariah.

Kisah ketahanan bank syariah selama krismon 1998 bukan sekadar catatan kaki dalam sejarah, melainkan sebuah bukti nyata atas kekuatan fundamental sistem yang diusungnya. Bagaimana mungkin sistem yang baru seumur jagung ini mampu bertahan ketika para raksasa perbankan konvensional bertumbangan?

Kondisi Perbankan Nasional: Terjebak Negative Spread

Untuk memahami keunggulan bank syariah, kita perlu melihat mengapa bank-bank konvensional begitu rapuh saat krisis. Masalah utamanya adalah fenomena negative spread.

Ketika krisis melanda, Bank Indonesia (BI) secara drastis menaikkan suku bunga acuan untuk menahan laju inflasi dan anjloknya Rupiah. Akibatnya, bank-bank konvensional harus menawarkan suku bunga deposito yang sangat tinggi, bahkan mencapai lebih dari 60%, untuk menarik dan mempertahankan dana nasabah.

Di sisi lain, kredit yang telah mereka salurkan kepada masyarakat memiliki suku bunga yang jauh lebih rendah dan bersifat tetap (fixed). Inilah yang disebut negative spread: biaya dana (bunga simpanan) yang harus dibayarkan bank jauh lebih besar daripada pendapatan yang mereka peroleh dari bunga pinjaman. Situasi ini membuat bank “berdarah-darah” setiap harinya, menggerus modal hingga akhirnya kolaps.

Resep Ketahanan Bank Syariah

Di tengah badai negative spread inilah, bank syariah—yang saat itu diwakili oleh pelopornya, Bank Muamalat Indonesia (BMI)—berdiri kokoh. Ketahanannya bukan kebetulan, melainkan hasil dari prinsip-prinsip dasar yang fundamental berbeda.

  • Terbebas dari Sistem Bunga

Ini adalah faktor pembeda utama. Bank syariah tidak menggunakan instrumen bunga. Penghimpunan dana dari nasabah tidak didasarkan pada janji bunga tetap, melainkan melalui akad:

  • Wadiah (Titipan): Nasabah menitipkan dana tanpa janji imbalan.
  • Mudharabah (Bagi Hasil): Keuntungan yang dibagikan kepada nasabah penabung didasarkan pada pendapatan riil yang diperoleh bank.

Ketika pendapatan bank menurun akibat kondisi ekonomi yang sulit, maka bagi hasil yang diberikan kepada nasabah juga ikut menyesuaikan. Mekanisme fleksibel ini membuat bank syariah tidak pernah mengalami negative spread. Beban biaya dana mereka secara otomatis mengikuti kinerja pendapatan, menciptakan stabilitas internal yang solid.

  • Keterikatan dengan Sektor Riil

Pembiayaan dalam bank syariah harus selalu didasarkan pada transaksi yang nyata (underlying transaction). Skema seperti Murabahah (jual-beli), Ijarah (sewa), dan Musyarakah (kemitraan) mengharuskan adanya barang atau proyek yang riil sebagai objek transaksi. Hal ini membuat bank syariah lebih fokus pada pembiayaan sektor riil dan terhindar dari aktivitas spekulatif di pasar uang atau valuta asing yang menjadi salah satu pemicu krisis.

  • Prinsip Berbagi Risiko (Risk Sharing)

Hubungan antara bank syariah dan nasabah adalah hubungan kemitraan, bukan kreditur-debitur. Dalam skema bagi hasil, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Prinsip ini mendorong bank untuk melakukan analisis pembiayaan yang jauh lebih hati-hati karena mereka ikut menanggung risiko jika usaha nasabah gagal. Ini menciptakan portofolio pembiayaan yang lebih sehat dan berkualitas.

Hasilnya, saat bank-bank lain antre untuk mendapatkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan program rekapitalisasi dari pemerintah, Bank Muamalat berhasil melewati krisis tanpa bantuan tersebut.

Pelajaran dan Momentum Pertumbuhan

Krisis moneter 1998 menjadi sebuah blessing in disguise atau berkah tersembunyi bagi perbankan syariah di Indonesia. Peristiwa ini menjadi ajang pembuktian (stress test) paling ekstrem yang berhasil dilewati dengan gemilang.

Keberhasilan ini membuka mata pemerintah, regulator, dan masyarakat luas akan keunggulan dan stabilitas sistem perbankan syariah. Kepercayaan publik meroket, dan ini menjadi momentum emas untuk pengembangan industri. Sebagai tindak lanjut, pemerintah mengesahkan UU No. 10 Tahun 1998 yang merevisi UU Perbankan sebelumnya. Undang-undang ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi bank syariah dan memungkinkan bank konvensional untuk membuka Unit Usaha Syariah (UUS).

Sejak saat itulah, era baru perbankan syariah di Indonesia dimulai, ditandai dengan lahirnya bank-bank syariah baru dan pertumbuhan pesat industri hingga hari ini.

Kesimpulan

Sejarah krisis moneter 1998 adalah validasi terbaik bagi sistem perbankan syariah. Dengan fondasi yang bebas bunga, terikat pada sektor riil, dan menganut prinsip berbagi risiko, bank syariah menunjukkan bahwa sebuah sistem keuangan yang berlandaskan etika dan keadilan tidak hanya idealis, tetapi juga terbukti lebih tangguh dalam menghadapi guncangan ekonomi.


Penulis : Jasmine Raudhah

Mahasiswa Institute Agama Islam SEBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Seedbacklink